BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Minggu, 12 Februari 2017

HEDUNG; JEJAK KSATRIA DARI TIMUR...

Hedung; Tari Perang Khas Orang Lamaholot


HEDUNG; JEJAK KSATRIA DARI TIMUR...

"aku bukan sang jawara, tapi bisa menaklukkan para jawara..."

Hedung adalah Tarian Perang khas Orang Lamaholot khususnya di Flores Timur dan Lembata-NTT. Bersenjatakan parang dan tombak sebagai simbol keberanian...

Parang adalah simbol membela dan melindungi yg benar,, sedangkan Tombak adalah simbol tiang arasy sebagai penegak keadilan. Dalam istilah adat, Orang Lamaholot menyebutnya, LIKO-LAPAK  JAGA-GERIAN...

Parang dan Tombak adalah senjata yg digunakan oleh nenek moyang Orang Lamaholot zaman dulu dalam perang tanding satu lawan satu...

Parang digunakan untuk memenggal kepala musuh dan tombak digunakan untuk menikam jantung musuh. Kepala dan Jantung sebagai sasaran agar musuh yg dibunuh tidak lama menderita kesakitan...

Kini, HEDUNG tetap dilestarikan dalam bentuk tarian untuk mengenang dan mewarisi keberanian para leluhur kepada generasi penerus Orang Lamaholot...

~AtaLabala~

Kamis, 29 Desember 2016

TUHO DEWA, SOBA GUNA...





TUHO DEWA, SOBA GUNA

1). TUHO= TUHOM= TUHAN= TUAN= TUA= TUAH

 - TUHO= tetek= menetek= menyusu pada ibu/induk= sumber air susu (ASI), dll.
 - TUHOM= yg mengasihi= yg pemurah= yg mengaruniakan= memberi tanpa pilih kasih, dll.
- TUAN= yg empunya= yg memiliki kekayaan= sang pemilik segala, dll
- TUA= yg dihormati= yg disegani= yg dipatuhi, dll
- TUAH= digdaya, pemilik kekuasaan= super power= yg disegani, yg empunya kekuatan magis, dll

2). DEWA= DEWE/i= DAWA

- DEWA= yg mengasuh= yg memelihara= yg melindungi= yg mengayomi, dll
- DEWE/i= selalu menyertai= mendampingi= membawa serta= seiring sejalan= berpasangan, dll
- DAWA= tali pegangan= arah pedoman= tumpuan harapan, dll

3) SOBA= SOMBA= SEMBAH= SEMBAHYANG

- SOBA= selalu diikuti= selalu dituruti= menjadi panutan= teladan yg baik, dll
- SOMBA= terhormat/kehormatan= punya harga diri=  memiliki kemuliaan= =tak ternilai harganya= gengsi, dll
- SEMBAH= rasa hormat= menghargai= memuliakan= mengagungkan, dll
- SEMBAHYANG= berbakti= mengabdi= berkhidmad, dll

4) GUNA= GUNU= GENA/GENE

- GUNA= selalu peduli= selalu bermanfaat= sumber rahmat, dll
- GUNU= pusaka= warisaan= berharga= pamungkas, dll
- GENA/GENE= mewarisi= menurunkan sifat= mengamanatkan= menitipkan tanggung jawab, dll

---   ----   ---   ---

TUHO DEWA, SOBA GUNA adalah ungkapan adat Orang Lamaholot Labala yg juga dikenal di daerah lamaholot lainnya. Ungkapan ini bermakna BERBAKTI KEPADA SANG KHALIK, JUGA  BERBAKTI KEPADA SESAMA DAN SEMESTA DENGAN PENUH CINTA, PENUH RASA TANGGUNG JAWAB, DLL. Dalam ajaran Agama Islam di sebut HABLUM MIN ALLAH, WA HABLUM MIN ANNAS, sedangkan dalam ajaran Agama Kristen dikenal dengan simbol SALIB yaitu hubungan VERTIKAL dan HORISONTAL...

Demikian pengertian/makna/tafsir menurut saya. Kalau ada yang keliru, silahkan di lengkapi...

orang yang sudah memahami teks/kata, dia akan memahami konteks kehidupan. dia tidak akan lagi berkutat menyembah teks/kata melulu, atau memperlakukan teks/kata sebagai berhala. Karena teks/kata yg sama, bisa dipahami berbeda oleh orang lain. Begitu kura-kura eh kira-kira.SALAM LEWO, DIKEN TANAH SENAREN. Sekian dan wassalam...

~AtaLabala~


Sabtu, 26 November 2016

Usu-Asa Atadiken; Bunga Buto (Asal-Usul Manusia Menurut Adat dan Tradisi Orang Labala)



Usu-Asa Atadiken; Bunga Buto



(Lewotanah; Lera Wulan Tanah ekan; Usu Asa Titen; Atadike...)

Usu-asa atadiken, Bunga Buto (asal-usul kejadian/penciptaan manusia dari delapan unsur ciptaan). Delapan unsur ini saling berpasangan diantaranya; Kowa kelle-lewotanah (Langit angkasa-Bumi pertiwi), wulan-wai (bulan-air), Lera-Tanah (matahari-tanah), belia/atep-ape (bintang-api).

Usu tanah tawa....

Antara air (sejuk namun juga bergelombang) dan api (menghangatkan tapi juga menghanguskan), bila menyatu akan menjadi uap (awan) yang kelak melahirkan hujan (rahmat)...

Antara tanah (tenang namun bisa gempa, retak koyak) dan udara (napas hidup tapi bisa menjadi badai yang meluluh lantakkan), bila menyatu akan menjadi debu (humus) yang kelak menjadi unsur hara (karunia)...

Antara hujan (air-api) dan unsur hara (tanah-udara), bila menyatu akan menjadi sari pati (nikmat). yang kelak menumbuhkan/melahirkan bakal kehidupan sebagai pertanda (bukti/tanda/ayat kebesaran-Nya)...

Dari air, api, tanah dan udara, bila menyatu/bersenyawa, maka kelak akan menumbuhkan tubuh (tumbuhan), melahirkan raga/jasad (manusia dan hewan), Sebagai ciptaan sang Pencipta, makhluk Sang Khalik...

Asa Ekan Gere....

Agar tubuh menjadi tumbuhan, agar jasad menjadi jasmani, maka tubuh dan jasad itu harus mendapat energi kehidupan atau senyawa (nyawa/ruh) kehidupan...

Dari mana asal/sumber energi kehidupan itu? Dari mana asal senyawa (nyawa/ruh) yang menjadi sumber asal energi kehidupan itu? Adalah dari kemurahan (rahmat) sinar matahari ilahi.

Tua Lera wulan, Alap Tanah ekan....

Dialah Sang Khalik Pencipta. Kita menyebutnya; Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widhi dsb... Dialah Rabb Alamin, yang empunya Alam semesta, Dialah  pemilik kosmos raya... kerajaan-Nya meliputi langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya...

Yang dengan kehendak-Nya, memberlakukan hukum alam proses photosintesis kehidupan, yaitu penyatuan senyawa/energi kehidupan dengan tubuh atau jasad/raga...

Dengan apa Tuhan menyatukan nyawa/ruh dengan Jasad? dengan Koda-kiri (Sabda Ilahiah, firman suci). Dengan, Kun Fayakuun= Jadilah! maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya...

Maka lahirlah bukti kehendak-Nya berupa kehidupan; tubuh menjadi tumbuhan, raga/jasad menjadi manusia dan hewan, alam semesta, dsb...

Ata Dike ata sare; Ata budi dike, Ata akal sare, onek bura puhu lae...

Dari semua bukti kehidupan itu, hanya Atadiken (manusia) yang menjadi bukti paling otentik akan kemahakuasaan-Nya. kepada manusia Tua Lera Wulan-Alap Tanah Ekan (Sang Khalik) melebihkan karunia-Nya; diberikannya manusia akal, budi dan hati yang kelak melahirkan Adat (akhlak/adab=peradaban), Budaya (budi/daya=kebudayaan), Hati (spiritualitas/iman).

Akal untuk menciptakan peradaban spiritual, budi untuk melahirkan kebudayaan material, Dan Hati nurani akan menciptakan dialektika yang harmonis antara akal (spiritual) dan budi (material), yang kelak melahirkan manusia sebagai Atadike= orang baik/orang berbudi-adat/manusia suci= Insan Kamil/manusia paripurna....

Itulah mengapa manusia dititipkan amanah; menjadi Khalifah (pemimpin/wakil Tuhan) di muka bumi; mengemban misi suci, menjadi Rahmatan Lil Alamin, sebagai personifikasi kasih-sayang Tuhan kepada semesta....

Gelekat lewo Gewayan tanah...

Dalam perjalanan hidupnya, misi utama manusia adalah gelekat lewo dan  gewayan tanah. Gelekat= beribadah yaitu berbakti (kepada Sang Khalik), gewayan=melayani/mengabdi yaitu berbakti (kepada sesama makhluk)...

Berbakti (beribadah) adalah kewajiban manusia. Berbakti/beribadah ialah patuh dan taat atas perintah dan larangan (mengerjakan kebajikan dan menjauhi kejahatan). Membantu dan menolong, menciptakan keseimbangan tatanan kehidupan semesta alam itulah hakikat ibadah yang sesungguhnya. Kepada  Lewo (alam/Langit keilahian), juga kepada tanah (dunia/bumi kemanusiaan), kepada alam semesta (yang gaib maupun yang nyata)...

Dengan apa manusia menunjukkan baktinya? Dengan akal spiritual, dengan budi material, juga dengan hati nurani. Dengan peradaban yang melangit (iman), dengan kebudayaan yang membumi (akhlak), juga kesadaran akan tanggungjawab sebagai insan paripurna...

Bagaimana cara manusia berbakti? adalah dengan beramal bakti, mengamalkan/mengaplikasikan akal, budi dan hatinya. Orang beragama menyebutnya, Beramal Shaleh yaitu menghasilkan, memproduksi, menciptakan Maha Karya yang paling otentik, orisinil dan tentu saja bermanfaat kepaa sesama dan semesta (gaib dan nyata)...

Kepada siapa manusia berbakti? Kepada Lewotanah= Lera wulan-Tanah ekan= Berkah Keramah= Alape(n)= Rabb=Pemilik Sejati= sang pencipta dan segala ciptaan-Nya. Kita menyebutnya dengan berbagai nama dan sifat; yang maha pengasih-penyayang, yang maha kuasa, yang maha perkasa, dsb. Kita menyebutnya dengan berbagai sebutan dan gelar; Tuhan, God, Hyang Wenang, Yahwe, Eli dls. Kita memanggilnya dengan; Elohim, Allahumma, om astyastu, Aleluya (yang maha terpuji) dll. Dan pada akhirnya semua kata dan panggilan untuk-Nya itu kembali kepada asal, yaitu Alape (pemilik/tuan)= Allah (Pemilik sejati)...

Wua-Malu= Waja-Dopi.... 

Wua-malu adalah simbol dualitas sifat ketuhanan sekaligus kemanusiaan yaitu simbol pasangan kosmis (khalik-makhluk). Pada manusia, wua-malu adalah simbol pasangan gender/jenis kelamin. Wua= Pinang adalah simbol Maskulin (jantan/laki-laki). Malu simbol feminim (perempuan). Wua adalah lambang keterbukaan pikiran laki-laki, dan malu adalah lambang kehormatan dan harga diri perempuan.

Wua-Malu= KeLake-KeWae= KeMamun-KeBarek= Ina Wae-Ama Lake= Naan-Bine= Laki-laki-perempuan= kakak-adik= saudara-saudari= putra-putri... dst.

Waja= ola= gelekat= kerja=mengabdi (sifat laki-laki). Dopi= gerian= memelihara= melayani= melengkapi (sifat perempuan). Waja-dopi= menjadi pengabdi dan pelayan= Kewajiban manusia (laki-laki dan perempuan) mengabdi kepada Sang Khalik dan pelayan bagi sesama an semesta...

Ape-Padu=   Hoto-Hula....

Ape-padu= api dan pelita= sumber cahaya= pedoman. Hoto-Hula= fungsi menerangi= jalan yang diterangi= untuk keselamatan jalan menuju tujuan, kembali pulang ke asal kejadian, mudik ke usul penciptaan.
Dalam beramal bakti, manusia dengan kesadaran jasmani dan ruhaninya, menyerap sifat kemanusiaan bumi; Menjadi Tanah Ekan. Menjadi bumi yang subur, menjadi pelayan; kepada Tua/Alap (khalik), juga kepada sesama atadiken (manusia) dan semesta (makhluk).

Dalam menunjukkan baktinya, manusia menyerap sifat keilahian; Menjadi Lera wulan. Menjadi sinar dan cahaya kehidupan. Sebagai Lera/rera= matahari; menjadi sinar di siang hari, menjadi naungan di kala perjalanan siang yang panas, terik dan melelahkan. Sebagai wulan= bulan, Blia= bintang; menjadi cahaya di malam hari, menjadi petunjuk bila malam gelap dan dingin yang membekukan

Jika sifat-sifat unggul dan berkualitas ini diaplikasikan, maka keniki-pelatin (bencana) akan menjauh, dan geleten-gelara (musibah) akan terhindarkan. Keselamatan perjalanan akan menyertai sampai ke tujuan, keseimbangan alam tetap terjaga, hidup jauh dari mara bahaya dan aneka petaka....

Tuen taan lewo haka tai, balik tala tanah aen gere....

Pada akhirnya, tak ada yang abadi memang. Semuanya akan kembali. Tak terkecuali manusia. Manusia akan kembali ke asal mulanya, pulang ke usul sejatinya; Lewotanah (asal kejadian/asal pnciptaan)...

Tubuh/Jasad/raga akan kembali ke asal mulanya, dan senyawa (nyawa/ruh) akan pulang ke usul sejatinya. Bukankah ada dikatakan, karena dari-Nya asal usul kita, maka kepada-Nya kembali kita?

Inna il Allah hi wa inna ilaih hi raaji’uun. Yah dari lewotanah usu-asa  kita, dan kepada lewotanah pula kita akan kembali pulang. Suatu saat nanti. Entah kapan, tapi pasti. (**)

Catatan: tulisan ini sekadar penjabaran penulis menurut perspektif adat orang Lamaholot Labala. Mohon maaf bila ada yang keliru/salah. Hal yang tersulit adalah mengurai istilah/bahasa adat ke dalam istilah/bahasa indonesia yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Silahkan dilengkapi bila ada yang masih kurang/keliru. Semoga bermanfaat. salam.

~AtaLabala~

Selasa, 22 November 2016

Kabar Duka Dari Rantau...





(Sebuah Cerpen untuk Amak)

Oleh Ata Labala

Labala, Lewotanah Watan Lolon...

Sunyi. Pada sebuah persimpangan jalan. Di siang hari yang terik, entah di mana itu. Dari kejauhan kulihat sesosok lelaki tua yang berjalan mendekat. Rambutnya telah beruban, hampir seluruhnya. Ekspresinya dingin saja, nyaris tanpa senyum. Aku berusaha mengenalinya. Semakin dekat, dan semakin dekat. Ah aku mengenalinya, sangat mengenali sosok itu.

“Amak, hendak ke mana?” aku berusaha menyapa. Tapi yang kusapa tak membalasku, dan hanya berlalu seakan tak melihatku. Atau barangkali tak lagi mengenaliku.

“Amak... Amak...!”  Aku berusaha memanggilnya. Setengah berteriak. Namun yang kupanggil, tak juga menoleh. Dia terus saja berlalu. Semakin jauh dan akhirnya sosok itu hilang dari pandanganku.

Dan tiba-tiba aku terbangun. Dikejutkan oleh suara dering telepon selulerku. Sejenak kulihat nama si penelepon. Rupanya itu panggilan telepon dari Abangku. Meski masih diliputi perasaan tak karuan karena mimpi yang kualami barusan, kusambut saja panggilan telepon itu.

“Adik suda dapat kabar?” Abangku langsung bertanya ketika kusambut teleponnya. Kabar apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sepertinya ada hal penting dan genting yang hendak diberitakannya.

“Kabar apa, Abang?” Aku malah balik bertanya. Masih dalam kebingungan. Biasanya bila Abangku menelepon, yang pertama ditanyakannya adalah kabarku, perkembangan kuliahku dan hal-hal lain tentangku.

“Amak telah tiada. Amak telah meninggal dunia.” Aku semakin kebingungan. Tak tahu hendak berkata apa setelah mendengar kabar dari Abangku ini. Selanjutnya aku hanya diam. Abangku di seberang telepon pun hanya diam setelah memberi kabar duka itu. 

Ah kabar duka dari rantau....

Amak, ayahku. Lelaki yang menjadi penyebab aku terlahir ke dunia ini. Sosok yang selama ini nyaris hilang dari kehidupan kami anak-anaknya. Lama merantau di tanah orang. Tak banyak. Hanya sedikit saja kenanganku bersamanya.

*** ***
Kau masih ingat, Ama? Waktu itu Hari Minggu. Sudah hampir sebulan kuhabiskan masa libur di kampung. Lepas subuh, sebagaimana kebiasaan Orang Labala, bagi yang punya sampan atau perahu, mereka pergi melaut. Sedangkan mereka yang tak melaut, lebih memilih pergi ke kebun. Dan kau, Ama, sudah ke kebun sejak pagi. 

"Amakmu sudah ke kebun sejak pagi, Nak." Kata Inak ketika kutanyakan keberadaanmu pagi itu.

Matahari sudah tinggi. Pohon-pohon kelapa yang berjejer di sekitar rumah sampai ke pinggir pantai yang rindang melambai diterpa angin Laut Sawu. Aku memutuskan untuk menyusulmu ke kebun. Kebun itu terletak di pinggir pantai berpasir putih, tepatnya di Pantai Tanjung Leworaja. Aku memilih menyusulmu dengan berjalan kaki menelusuri tepian Pantai Teluk Labala nan elok itu.

Tanpa membawa bekal dan peralatan sebagaimana layaknya orang kampung yang hendak pergi berkebun. Dari pantai Wailolon yang bermata air itu, kemudian ke Pantai Wolor yang berombak dan berakhir di Pantai Lukiono yang berpasir biru keungu-unguan dan Tanjung Leworaja yang bersejarah dan penuh misteri itu.

Ketika hendak memasuki daerah Tanjung Leworaja, aku berbelok mengambil jalur pintas di sebelah kiri tepian pantai Lukiono, berjalan mengikuti jalan setapak yang membelah pepohonan bakau dan pohon pandan liar yang rindang di pinggir pantai. Terus menaiki jalan sempit di antara himpitan batu karang di tengah jejeran pohon lamantoro dan lebatnya pohon-pohon asam yang rindang di Lewo Nubalolon.

Jalan setapak itu merupakan jalan pintas untuk sampai ke jalan poros Labala yang berliku dekat Nobe Nuba Lagadoni. Jalan poros Labala ini baru setahun lalu diaspal. Jalan utama ini biasa dilalui oleh Orang Labala yang berkendaraan atau yang masih punya kebiasaan jalan kaki untuk pergi ke kebun masing-masing. Jalan ini merupakan jalur poros lintas selatan Lembata yang menjadi penghubung kampung-kampung di pesisir mulai dari Loang-Ibukota Kecamatan Nagawutung, Lamalera, Luki-Pantai Harapan, Mulankera, Leworaja sampai ke Kampung Kahatawa ujung timur Kecamatan Wulandoni.

Sesampai di jalan poros yang sedikit menurun, sampailah aku di kebun itu. Kebun yang sejak masa kanak-kanak dulu, sering kudatangi. Menemani inak bercocok tanam jagung dan kacang tanah bila tiba musim hujan. Letaknya di pinggiran Pantai Pasir Putih Watotena-Tanjung Leworaja. 

Ketika masih kecil dulu, bila malas menemani inak menyiangi rumput di kebun itu, biasanya aku lebih memilih pergi ke pantai untuk mandi di air laut yang bening, bakar ubi kayu untuk dimakan sendiri atau sekadar tidur-tiduran di bawah pohon asam yang rindang. Dan bila menjelang sore, inak pergi ke pantai memanggilku untuk pulang ke rumah.

Dari kejauhan, kulihat Bukit Pukaono, Laut Sawu yang biru, Tanjung Atadei yang bergelorah, dan tentu saja Teluk Labala nan elok dengan pantai pasir putih Watotena yang membentang, juga hamparan batang pohon jagung dengan daun yang menguning.

Lamat-lamat kudengar bunyi tebasan dari kejauhan, di tengah kebun jagung yang siap panen, di siang itu. Kutelusuri bagian tepi kebun jagung itu, mencari celah melewati rimbunan pohon jagung yang ukuran lebih tinggi dari tinggi badanku sendiri. Ketika memasuki kebun, aku merasa seperti berada di tengah  hutan jagung. Aku kemudian berjalan mengikuti arah suara tebasan yang terdengar tadi. Akhirnya tiba juga aku di sebuah dangau di tengah-tengah kebun jagung.

Sejenak kulemparkan pandangan ke sekitar kebun. Berada di tengah kebun itu, sejenak mengingatkanku akan masa kanak dulu. Berusaha mengingat kenangan masa lalu bersama inak di kebun itu ketika musim menanam atau musim panen tiba. Deru ombak itu, pohon asam yang dulu juga masih tegak berdiri di sana, juga pohon pandan liar yang tumbuh di pinggir pantai pasir putih dekat kebun. Aku merasa seperti kembali ke masa lalu, masa kanak-kanak dulu.

Mendengar bunyi langkah yang kian mendekat, sejenak kau berhenti. Memandang sekitar untuk memastikan siapa yang datang. Setelah memastikan kalau akulah yang datang, kau segerah melangkah mendekat dan menyuruhku untuk duduk saja, berteduh di dekat dangau.

“Duduk saja di situ, Nak. Nanti kalau sudah habis yang ini, kita makan.” Kau berkata. Hanya itu. Kemudian kau kembali dengan pekerjaanmu, menebas batang jagung yang sudah tua dan mematahkan tongkolnya. Dan aku hanya menuruti apa katamu.

Di sekitar dangau, kulihat beberapa gunungan tongkol jagung yang belum dibersihkan. Biasanya gunungan tongkol jagung yang sudah terkumpul, kemudian dibersihkan dengan memotong-motong bagian pangkal kulit dan rambut-rambut pada ujung tongkol buah jagung. Tongkol buah jagung yang bagus tak dikupas kulitnya agar tahan lama bila disimpan untuk persediaan pangan dan benih untuk ditanam kembali bila tiba musim hujan tahun berikutnya.

Aku kemudian melangkah masuk ke dalam dangau. Sejenak melihat keliling. Kutemukan sebuah parang kecil yang tersampir pada atap dangau bagian dalam. Dengan parang di tangan, aku berjalan keluar menuju gunungan jagung yang belum dibersihkan. Sebenarnya pekerjaan membersihkan tongkol jagung ini tak sukar, namun mungkin soal kebiasaan saja. Mulanya kewalahan memotong dan membersihkan tongkol-tongkol jagung itu, namun beberapa saat kemudian aku jadi sedikit terampil.

“Sudahlah nak, kita istirahat dulu. Habis makan baru dilanjutkan lagi.” Kudengar suaramu yang sedikit mengejutkanku.

“Iya Ama. Sedikit lagi ini.” Aku membalasmu. Dan kulihat kau berjalan perlahan menuju dangau itu. Dan aku masih kembali melanjutkan memotong dan membersihkan tongkol jagung.

Beberapa saat kemudian kau datang dengan bekal. Ada nasi jagung, sayur kuah santan daun ketela, ikan tongkol yang telah dipanggang, juga sambal dari campuran ulekkan cabe rawit dicampur garam dan perasan jeruk nipis. Menu sederhana yang disiapkan oleh inak tadi pagi. Melihatmu telah mempersiapkan menu makan siang, aku pun menghentikan kerja memotong dan mebersihkan tongkol jagung.

Angin laut teluk labala berhembus sepoi-sepoi siang itu. Dari kejauhan suara burung camar laut bersahutan. Di bawah pohon jambu mente yang rindang itu, kita berdua, ayah dan anak menikmati menu makan siang alakadarnya. Tiba-tiba saja, Aku merasakan ada luapan kasih sayang, kerinduan, dan cinta yang selama ini tertunda dan tak cukup kunikmati sejak kecil. Yah kebersamaan dan kemesraan bersamamu, Amak. Dan siang itu aku berusaha menikmatinya bersamamu di kebun jagung dekat pantai pasir putih watotena Tanjung Leworaja itu.

*** ***

Kau masih ingat, Ama? Sore itu, ketika matahari sudah mulai tergelincir, di Labala Luki-Pantai harapan, kampung kita. Tepatnya di rumah yang sederhana itu. Di bawah naungan pohon-pohon kelapa. Tapo Ono, Wai Lolon...

Rambutmu yang beruban. Hampir semuanya. Peluh masih mengalir di dahi tuamu. Sebagaimana kebiasaanmu, kau baru pulang dari kebun sore itu.

"Anak baru datang?" Kau menyapaku. Suaramu pelan. Singkat saja.

"Iya, ama." Aku menjawabmu. Juga sama. Singkat saja.

Mungkin benar kata orang, bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sebagai anakmu, aku mewarisi watakmu yang pendiam. Tak suka banyak cakap dan basa basi. Bahkan di waktu bersamamu, sore itu.
Melihatku yang duduk sendiri di teras depan rumah, peralatan kebun di pundak, Kau letakkan begitu saja diatas bale-bale bambu di samping rumah. Segera Kau menemuiku dan duduk di sampingku. Sebungus kretek yag sudah kuhisap sebatang masih tergeletak di atas meja.

"Jagung di kebun belum selesai dipetik semua, Ama?" Saya memulai lagi percakapan dengan bertanya. Sebenarnya hanya sekadar memecah kesunyian. Lagi pula, memang waktu itu lagi musim panen jagung di Labala, kampung kita.

"Belum. Nanti besok baru dilanjutkan lagi." Kau menjawabku sembari mengambil sebatang kretek.
Di dapur, terdengar inak sedang sibuk menyiapkan minum. Minum sore kalau aku sedang berkunjung ke rumah. Dan kini kita berdua kembali diam. Sibuk dengan pikiran masing masing.

Beberapa saat kemudian, inak datang membawa dua buah gelas berisi kopi dan teh panas, juga sepiring penuh jagung titi, kemudian disajikannya di atas meja plastik. Kata inak, Amak lebih suka minum teh dari pada kopi. Untuk yang satu ini, selera kita berdua memang berbeda. Tapi Kau, Ama, sama sepertiku, kau adalah perokok berat. Untuk yang satu ini, kita berdua memang sama setali tiga uang.

"Kalian berdua ini, macam tidak saling kenal. Lama baru jumpa mestinya saling bertanya kabar. Eh malah diam saja macam orang bisu." Kata inak memecah kesunyian. Aku senyum-senyum saja. Dan kau ama, hanya menggaruk kepala yang tak gatal.

Untuk beberapa saat, inak sendiri berbicara, bercerita ini itu. Tentang harga sembako yang mahal, tentang panen jagung yang belum selesai, juga tentang ternak ayam yang susah diurus. Dan kita hanya jadi pendengar setia. Tak banyak cakap, apa lagi menanggap cerita inak. Kita hanya sesekali menyesap kopi dan teh panas yang disuguhkan sembari menghisap kretek.

Tak terasa hari semakin sore. Inak sudah kembali ke dapur. Jam di telepon genggamku, sudah menunjukkan pukul 16.30 WITA. 

"Ama, maukah kucukur ramubutmu?" Aku bertanya. Barangkali Kau mau rambutmu kucukur. Sebenarnya sedari tadi kulihat rambutmu. Sudah mulai lebat dan panjang. Mungkin sudah lama belum dicukur. Makanya kutawarkan jasa.

Tak ada jawaban. Hanya anggukan kepala tanda setuju. Dan saya bergegas masuk ke rumah mengambil sisir dan gunting.

Tak sepertiku yang berambut ikal keriting, rambutmu lurus, Ama. Kata orang, rambut air. Selama mencukur rambutmu, tak ada percakapan di antara kita. Kita kembali seperti kebiasaan, hanya diam tanpa kata. Sesekali aku hanya membetulkan kepalamu untuk menyesuaikan posisi sisir dan gunting untuk mencukur rambutmu.

Kau tahu, Ama? Kesempatan bersamamu adalah kesempatan yang langka. Aku hanya bisa bertemu denganmu bila berkesempatan pulang kampung ketika libur kuliah. Selama sekolah SMP dan SMA dulu , kemudian lanjut kuliah di Makassar hingga kini, saya baru tiga kali pulang berlibur ke kampung. Dan untuk kedua kalinya bertemu denganmu setelah sejak aku masih kecil, kita berpisah. Seingatku, kau pergi merantau sejak aku masih kecil, bahkan belum sempat duduk di bangku sekolah malah.

*** ***

Pagi yang cerah. Ini hari rabu. Sebagaimana lazimnya, hari rabu adalah hari pasar di pasar barter Labala Desa Leworaja. Sedari subuh aku sudah lebih awal bangun untuk bersiap-siap ke Basar Barter Desa Leworaja. Jarak desa Leworaja dari Desa Luki-Pantai Harapan kira-kira 8 KM dari Desa Luki Pantai Harapan. Untuk datang ke pasar barter ini, orang labala yang tinggal di Luki-Pantai Harapan menempunnya dengan naik ojek atau dengan naik mobil pick up yang memang khusus untuk menjemput dan mengantar penumpang yang hendak ke Pasar Barter Labala di desa Leworaja.

Sebagai anak orang Labala, saya punya kenangan dengan desa bersejarah ini, yaitu Desa Leworaja dengan pasar barternya ini. Desa Leworaja adalah bekas ibukota Kerajaan Labala tempo doeloe. Orang Labala yang tinggal di desa luki-Pantai Harapan dulunya adalah penduduk desa leworaja. Namun pada tahun 1979, Desa Leworaja mengalami bencana tsunami sehingga sebahagian penduduknya pindah ke Luki yang kini menjadi Desa Luki Pantai Harapan. Desa Luki Pantai Harapan terletak di sebelah barat Tanjung Leworaja.
Di sana, di desa Leworaja, selain pasar barternya yang terkenal itu, kita juga bisa berziarah dan melakukan wisata budaya dengan mengunjungi beberapa situs sejarah dan budaya seperti makam Raja-raja Labala, mesjid tua Al-muqrabin Labala yang merupakan mesjid tertua di Nusa Tenggara Timur yang dibangun pada tahun 1918 M pada masa kekuasaan Raja Baha Mayeli (Raja Labala ke-VII), bekas Istanah Kerajaan Labala, rumah-rumah adat dengan berbagai benda purbakala warisan nenek moyang Orang Labala.

Momen mengunjungi Pasar Barter Labala tak ingin kulewati pagi itu. Selama libur di kampung, sebisa mungkin setiap hari rabu aku selalu berkunjung ke pasar barter Leworaja. Sejak sore kemarin, aku suda menghubungi salah seorang tukang ojek kenalan untuk mengantarku ke pasar barter labala. Dan pagi itu, sambil menunggu kedatangan tukang ojek lengganan untuk mengantark ke pasar barter labala, aku tengah sarapan dengan segelas kopi dan sepiring jagung titi.

“Abang...! Abang..!” aku mendengar suara teriakan yang memanggil-manggil. Rupanya itu suara adik sepupuku. Dengan tergopah-gopah, Sepupuku itu menghampiriku yang tengah sarapan di teras depan rumah.

“Ada apa, Dik.” Aku buru-buru bangkit dari kursi dan perlahan berjalan menemui adik sepupuku itu.

“Abang lekas ke rumah dulu. Amak mau ketemu dan ingin bicara. Ada hal penting katanya.” Kata sepupuku memberi keterangan dengan suara terbata-bata.

Tanpa menunggu lama, aku mengajak sepupuku untuk pergi menemuimu, Amak. Dalam perjalanan aku bertanya kepada sepupuku itu, ada hal penting apa yang ingin di sampaikan. Namun yang kutanya hanya mengatakan bahwa nanti aku akan tahu sendiri.

Sesampai di rumah, aku mendapatimu duduk sendiri di pojok meja makan. Diam tanpa kata. Ekspresi wajahmu kesal. Teh panas di atas meja masih mengepul. Melihatku datang, inak segerah menemuiku dan mengatakan bahwa sedari tadi kau menungguku. Aku kemudian duduk di sisi kiri meja makan.

Sejenak, suasana dalam rumah lengang. Beberapa saat kemudian inak mulai bicara. Kata inak, baru saja ada orang yang datang menemuimu di rumah tadi. Membicarakan perihal kuasa kepemilikan kebun di pinggir pantai watotena tanjung leworaja itu. Saat itu inak seakan menjadi juru bicara, menerangkan kepadaku duduk persoalan yang tengah mengganggu pikiranmu.

Sesaat aku hanya menghela napas panjang, sembari mengeluarkan sebungkus keretek dan kutawarkan kepadamu yang hingga saat itu hanya diam. Sebenarnya persoalan itu sudah lama kudengar, hanya saja aku menganggap itu persoalan keluarga, sehingga untuk menyelesaikannya, harus ada urung rembuk dengan keluarga besar. Tak kusangka persoalan menjadi rumit dan kompleks seperti itu.

Sebagai anak, menurut adat kita Orang Labala, aku tak punya kuasa berbicara jauh perihal kepemilikan warisan keluarga, karena yang paling berwewenang adalah keputusan bersama dari tua-tua adat dalam suku. Entah warisan tanah, atau warisan lain yaang menyangkut maslahat keluarga besar dalam suku. Pagi itu aku hanya menawarkan solusi untuk kembali melakukan pendekatan keluarga untuk membicarakan masalah yang tengah kau alami.

“Masalah ini biarlah amak dan tua-tua yang lain menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan,” Aku memulai pembicaraan setelah keheningan yang panjang. Menurutku, akan lebih bijak bila semua keluarga dilibatkan untuk menyelesaikan persoalan ini.

“Tak usah kau pikirkan itu nak. Kau pikirkan saja sekolahmu. Masalah ini biar nanti amak yang bicarakan dengan keluarga yang lain.” Kau memulai pembicaraan. Dari nada bicaramu, aku membaca bahwa sebagai orangtua, kau tak ingin melibatkanku dalam persoalan ini. Dan aku pun berharap, semoga masalah ini bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah agar kerukunan dalam keluarga besar tetap terjaga.

*** *** ***

Aku masih ingat ama, seminggu sebelum aku kembali ke Makassar, suatu malam ketika aku berkunjung ke rumah, di wailolo tapo ono. Malam bulan purnama yang cerah. Suasana hening. Selepas makan malam, Inak dan keluarga yang lain sudah lebih dulu tidur. Dan kita berdua masih duduk di samping rumah, di atas balai-balai bambu itu. Ditemani dua gelas minuman, kopi dan teh panas, juga sebungkus keretek.

“Amak sudah putuskan sendiri. Mungkin hari jumat nanti amak mau pergi.” Kau membuka pembicaraan. Kata-katamu seakan menggantung dan membuatku penasaran.

“Amak mau pergi? Memangnya amak mau pergi ke mana?” Aku menimpali. Di benakku penuh dengan tanda tanya atas kata-katamu barusan.

“Mau pergi merantau.” Kau menjawabku. Singkat saja. Keretek di tanganmu kembali kau hisap.

Aku terhenyak mendengarkanmu, Ama. Berusaha memahami kata-katamu itu. Menurutku, di usiamu yang semakin menua, merantau bukanlah pilihan yang bijak. Lebih tepatnya, itu bukan pilihan terbaik. Setelah sekian lama merantau sejak usiaku yang masih sangat belia, aku merasa kehilangan sejak kecil akan sosokmu. Dan kini kau malah memutuskan untuk kembali pergi, merantau lagi.

“Memangnya amak suda pertimbangkan masak-masak sebelum memutuskan pergi merantau lagi?” Aku kembali bertanya. Tiba-tiba saja pandanganku buram. Tak terasa airmataku menyembul. 

Kembali aku terkenang masa kanak. Masa dimana aku kehilangan sosok ayah yang seharusnya selalu dekat, selalu ada di saat aku butuh, menjadi sosok yang kubanggakan di antara teman-teman sepermainaku, juga tentu saja cinta dan kasih sayang yang selalu diidam-idamkan dari setiap anak dari  ayahnya. Namun semua itu tak cukup kudapatkan ketika masa kanak-kanakku dulu. Dan kini, sosok yang kurindukan itu, yang belum seberapa lama kutatap wajahnya sepuas hati, yang belum puas kudengar suaranya sepenuh kerinduan, dan beroleh perhatiannya seutuh-utuhnya, malah memutuskan untuk kembali pergi merantau. Ah bukan main sesaknya dadaku...

“Anak tak perlu khawatir. Amak hanya pergi untuk beberapa bulan. Doakan saja, umur panjang kita bisa jumpa lagi.” Kau berkata dengan nada suara yang nyaris tercekat di tenggorokan. Dan air mataku semakin meluruh. Aku terus saja menundukkan kepala di atas bale-bale itu. Satu-satu bulir air mataku jatuh ke pangkuan. Lagi-lagi, aku merasa kehilangan untuk kesekian kalinya.

Sebagai anakmu, aku tak tahu hendak berkata apa untuk menimpali. Pikiranku seakan buntu saat itu. Entah mengapa, aku tak punya keberanian untuk membantah atau berusaha sekadar membujukmu agar tak lagi pergi merantau. Mungkin berpisah denganmu sejak kecil, membuatku tak punya cukup pengetahuan untuk mengenali lebih dekat sifatmu. Hal inilah yang barangkali membuatku tak punya keberanian untuk membantah apa lagi menolak pilihanmu untuk kembali merantau.

 “Jadilah Kebanggaanku! Itu saja yang Amak minta..." Itu katamu, Ama. Dan entah mengapa, saat itu aku takut kehilangan. Ketakutan yang tiba-tiba seakan menyeruak hingga ke sum-sum tulang dan darahku. Aku tak ingin kehilangan sosok ayah untuk yang kesekian kali. Namun aku tak bisa berbuat dan berkata apa-apa malam itu. Dan tak kusangka, itu pesan terakhirmu kepadaku. Pesan yang terus menerus terngiang di benakku.

Ah, tempo itu, waktu itu, Ama. Saat-saat dimana aku masih berkesempatan menatap wajah tuamu, mencukur rambut ubanmu. Tapi entah kenapa kebersamaan kita seakan tiba-tiba hilang lepas, nyaris tanpa jejak. Dimamah waktu ditelan jaman. Terkubur bersama cerita yang belum tamat kubaca, kisah yang terlalu gesa menjadi kenangan, juga cinta yang barangkali tak akan pernah bisa impas kubalas tuntas.
Malam semakin melela. Dan suara jengkrik saling bersahut-sahutan...

*** *** ***

Setelah mendengar kabar duka dari abangku, semalaman aku tak bisa tidur. Teman-teman sekampungku di kamar kost sebelah juga belum tidur. Lamat-lamat dari kejauhan kusimak sebuah lagu yang diputar oleh teman dari kamar kost sebelah itu. Entah siapa penyanyinya dan apa judul lagunya; 

“Ama, budi moe wai baan sare, jasa moe uran netik dike. Go pate kewan hala, go helu di bisa kuran. Ama, tutu koda sare, marin kirin mela. Go kete kaan pana laran, go pehen kaan gawe ewan...”

(Ayah, kebaikanmu laksana air yang terus mengalir, kasih-sayangmu bagai rintik hujan yang terus menyirami. Kebaikan yang tak bisa kubalas impas, kasih-sayang yang tak sanggup kubayar lunas. Ayah, ajari aku nasehat kebenaran, beri aku petuah kebajikan. Kebenaran yang menjadi pedoman hidupku, kebajikan yang menjadi penuntun langkahku)

Tiba-tiba pandanganku buram. Mataku berkaca-kaca. Ada bulir bening yang menyeruak, hangat menyembul dikedua kelopak mataku, lalu menetes satu-satu. Dan lagu itu terus mengalun pilu, sepilu hatiku saat ini. (***)
======----
Catatan:

1.      Amak adalah panggilan untuk ayah (Ayahku) 
2.      Inak adalah panggilan untu ibu (Ibuku)
3.      Lewo Nubalolon adalah  bekas kampung kuno orang labala tempo doeloe sejak dari Lepan-Batan, yang kini menjadi kawasan situs sejarah. Kawasan ini telah ditumbuhi hutan belukar dan pohon-pohon besar. Di kawasan ini masih terdapat bekas pendasi ruma penduduk dan pendasi rumah adat, nama (halaman rumah adat)   
4. nobe/nobo (batu-batu tempat duduk para tetua adat jaman dulu),  
5.nuba-nara (batu altar persembahan nenek moyang orang labala tempo doeloe), 

selain itu kuburan tua, dan pecahan-pecahan keramik peninggalan nenek moyang orang labala. Kawasan kuno ini berbentuk pematang bertingkat-tingkat menyerupai bangunan pundek berundak-undak yang di puncaknya membentuk nama lewo (lapangan umum tempat nenek moyang orang labala menggelar pertemuan umum dan perhelatan tarian adat) dan di tengah nama lewo terdapat Nuba-nara (altar/tugu batu persembahan) dan nobe/nobo (batu tempat duduk para pemimpin suku-suku di Labala jaman dulu). Kawasan lewo nuba lolon ini oleh orang labala sekarang biasa disebut dengan lewololon (pusat kampung). Kawasan ini dianggap keramat karena dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur Orang Labala yang pertama kali datang dari Lepan-Batan.

cerpen ini sudah diterbitkan di: http://fiksiana.kompasiana.com/muhammadbaran/kabar-duka-dari-rantau_58345d54cf7a610b1e0ed1cd

Minggu, 20 Maret 2016

Ular Naga; Perspektif Al-Quran & Tradisi Mistis Orang Labala




Ular Naga  Menurut Perspektif Al-Quran

Harus diketahui, menciptakan manusia dari tiada, membentuknya dan meniupkan padanya dari ruh-Nya, dan mengokohkan alam semesta, juga segenap keajaiban yang terkandung di dalamnya, adalah yang Maha Kuasa juga  yang menciptakan luar angkasa dan makhluk yang ada di dalamnya.

Al-Quran juga telah menunjukkan adanya makhluk-makhluk yang tidak diketahui manusia di masa kenabian (Muhammad SAW). Demikian juga  menunjukkan peran dari penemuan ilmiah, bahwa setiap berita akan ada waktu kemunculannya (pembuktiannya), sepanjang manusia berusaha tetap memanfaatkan potensi akal yang dimiliki untuk membuktikannya (mencari, menelusuri dan menemukannya).

"Dan Dia (Allah) telah menciptakan kuda, bagal, keledai agar kamu menungganginya (dan menjadikannya perhiasan). Dan Allah juga menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya." (QS. An-Nahl: 8)

Keyakinan kepada hal-hal yang tak terjangkau (yang belum dipahami akal) manusia, yang dalam istilah al-quran di sebut dengan hal yang gaib (malaikat, jin, iblis, makhluk luar angkasa, termasuk hari pembalasan, dll)  adalah salah satu sendi keimanan (Rukun Iman) dalam Islam.

Kita sering mendengar, membaca berita/cerita tentang penampakan hal-hal gaib atau fenomena alam yang terjadi diluar jangkauan nalar/logika manusia. Sayangnya, hanya karena tak terjangkau atau tak terpahami oleh logika, maka kadang dengan angkuh dan sombongnnya kita menganggap semua berita/cerita itu hanya sekadar mitos/tahayul/legena/dongeng semata, tanpa mau berikhtiar menelusuri jejak sejarah atau jalan cerita yang sebenarnya.

Lagi pula, sesuatu yang dianggap gaib belum tentu tak ada. Sesuatu yang dianggap cerita mitos, tahayul, legenda, dongeng dsb, belum tentu berarti cerita itu tak pernah terjadi. Kendalanya hanya ada pada keterbatasan kemampuan akal manusia yang belum mampu menguaknya. Sesuatu yang gaib adalah sesuatu yang misteri, sesuatu yang masih menjadi rahasia, sesuatu yang masih ditabiri. Dan tabir  utama yang menjadi penghalang itu adalah keterbatasan pengetahuan kita sebagai manusia.
Pada tulisan ini saya hanya akan sedikit membahas tentang adanya isyarat dalam al-Quran yang menjelaskan kemungkinan adanya kehidupan makhluk berupa hewan melata (ular, kadal dsb) yang bila ditelusuri, sedikit banyak membantu menguak misteri akan keberadaan makhluk berupa hewan melata yang selama ini hanya dianggap cerita mitos/tahayul/legenda/dongeng. Makhluk berupa hewan melata yang saya maksud adalah ular naga yang hingga kini menjadi tradisi mistis dalam adat dan budaya Orang Labala.

Berikut saya mengutip beberapa ayat dalam al-quran yang menjadi signal/isyarat keberadaan makhluk yang diiptakan Allah SWT dari jenis hewan melata yang kita tidak/kita belum mengetahui dan memahaminya. Misalnya dalam al-quran diisyaratkan kemungkinan adanya kehidupan makhluk diluar angkasa dan di bumi (entah sejenis manusia, jin atau hewan melata dll.).

"Diantara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan langit dan bumi, dan makhluk-makhluk yang melata yang disebarkan pada keduanya (langit dan bumi) dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendakiNya." (QS. Asy-syura: 29)

Kata "makhluk yang melata" yang dalam teks asli al-quran disebut dengan  "dabbah". Oleh sebagian ulama menerjemahkannya dengan "makhluk melata", yaitu makhluk yang berjalan atau bergerak berpindah tempat dengan tidak menggunakan kaki atau tangan atau sayap. Dalam pengertian umum, binatang yang punya ciri melata yaitu berjalan/berpindah dengan perut atau otot perutnya adalah ular.
Kata "dabbah" dalam al-quran memiliki kemiripan dengan kata "Deppa"  dalam bahasa Lamaholot Labala yang juga memiliki arti yang sama yaitu bergerak atau berjalan dengan perut atau melatah ditanah. Dari kata "Deppa" dalam bahasa Labala, kemudian terbentuk kata "Geppa" yang digunakan untuk nama binatang seperti kemodo/biawak yang bila berjalan terlihat seperti melata dengan menyeret perut di tanah. Selain itu, dalam banyak anggapan, komodo/biawak biasa disebut juga dengan naga darat.

Kata lain yang bersinonim dengan kata "Deppa" dalam bahasa labala adalah "doro" yang berarti melatah dipohon. Tapi kata deppa dan doro umumnya digunakan untuk aktifitas berpindah tempat atau bertumbuh pada binatang dan tumbuhan yang melata di tanah atau di pohon seperti ular atau seperti hura jawa (ketela rambat) dimu (semangka/mentimun) dll

Dalam al-quran juga ditegaskan bahwa, makhluk melata yang disebut dengan "dabbah' (ular) ini tak hanya berada dan hidup di bumi, tapi juga berada dan hidup di pelanet/galaksi/alam lain di langit.

"Dan kepada Allah sajalah bersujud segala makhluk melata yang  berada di langit dan semua makhluk melata yang ada di bumi dan juga para malaikat. Sedangkan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri." (QS. An-Nahl: 49)

Dengan isyarat ayat seperti di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa tak ada salahnya penjelasan ayat al-quran di atas menjadi isyarat bahwa ada wujud kehidupan alam lain yang memiliki makhluk yang barangkali juga memiliki kemiripan dengan kehidupan di bumi tempat kita hidup.
Tak bisa dipungkiri, kitab suci tiada lain hanyalah kitab pedoman yang menuntun manusia untuk memahami dan memaknai kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta. Kitab suci bukanlah seperti buku ilmiah yang menjelaskan secara terperinci fenomena dan nomena semesta, namun kitab suci juga mengandung signal/isyarat ilmiah yang  bisa dijadikan dasar mencari dan menemukan kebebenaran yang masih ditutup kabut misteri.

Ular Naga Dalam Tradisi Mistis Orang Labala

(Ular Naga Adalah Simbol Air dan Siklus Kehidupan)

Sebagai Orang Labala, saya tak asing dengan cerita ular naga. Tak hanya berupa cerita yang banyak orang menganggapnya sekadar mitos, namun juga ular naga dalam cerita sejarah, adalah penyebab utama pelarian Orang Labala dari Lepan-Batan. Selain itu, ritual adat yang berhubungan dengan ular naga yang dilakukan oleh Orang Labala, menjadi alasan mengapa mitos tentang ular naga ini tak asing bagi saya.
Bila ditelusuri dari jalan ceritanya dan diamati dari upacara adat berupa ritual Pao Oma (pao= memberi/membujuk/memberi makan, Oma/ume= jatah/bagian) yang di lakukan Orang Labala, Ular Naga tak lain adalah simbol yang merupakan unsur penting kehidupan yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Simbol yang saya maksudkan adalah Air. Air adalah salah satu unsur terpenting yang juga menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia. Bahkan menurut kajian ilmu pengetahuan, air disinyalir sebagai asal mula kehidupan semua makhluk.
Di Labala, hampir semua seremonial adat berhubungan dengan air; air sungai, air laut dan air hujan. Di sungai misalnya, sepanjang aliran sungai, mulai dari wai mata (sumber mata air) sampai wai lei (muara sungai). Begitupun di laut, Orang Labala memiliki seremoni adat tula re (berdamai dengan laut). Bahkan di Labala pun Orang Labala memiliki seremoni adat teppa bala (memanggil hujan) bila terjadi kemarau berkepanjangan sehingga terancam gaga panen.
Dilihat dari berbagai seremonial adat yang dilakukan Orang Labala, bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, upacara seremonial adat ini menggambarkan siklus perjalanan air sebagai sumber kehidupan. Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal istilah siklus air, dimana air laut (hari lewa/tula ree) sebagai sumber air utama menguap karena panas matahari (sumber energi keilahian/ketuhanan) kemudian menjadi uap/awan. Selanjutnya, awan mendung yang mengandung titik-titik air kemudian jatuh sebagai hujan (teppa bala), lalu hujan yang turun kebumi membentuk mata air (wai mata), kemudian mata air mengalir menjadi sungai menuju muara (wai lei/pao oma) dan kembali lagi ke laut (hari lewa/tula ree).
Dari sedikit penggambaran di atas, maka dapat kita pahami, bahwa kepercayaan akan ular naga sebagai simbol air, merupakan sebua upaya manusia menjalin keselarasan hidup dengan alam yang memberinya kehidupan. Bukankah terjadinya aneka mala dan bencana akibat dari ulah manusia yang seenaknya saja memperlakukan alam?
Sebagaimana yang disinyalir dalam Kitab Suci al-Quran:
“Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut akibat ulah tangn-tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu dan agar mereka mau kembali (sadar)”
Naga Bumi-Naga Langit; Simbol Keseimbangan Kosmis
(Naga Langit; Simbol Alam Ilahiah/Alam Malakut/Alam Gaib. Naga Bumi; Simbol Alam Semesta/Alam Makhluk/Alam Nyata)
Sebagaimana hukum alam (sunnatullah), segala sesuatu diciptakan Tuhan selalu berpasangan. Langit dan bumi adalah pasangan telur kosmis, sumber keyakinan Orang Lamaholot terkhusus Orang Labala, yang meyakini kuasa Lera-wulan Tanah Ekan (Tuhan Sang Pemilik Langit dan Bumi). Dari pasangan kosmis keilahian (Langit dan Bumi), selanjutnya terbentuklah pasangan kosmis kemanusiaan (makhluk) yaitu keblake-keberwae (laki-laki dan perempuan) atau manusia yang oleh Tuhan diberi amanah menjadi khalifah (penghubung kosmis keilahian dengan kosmis alam semesta) beserta segala hal lain di alam raya yang juga tercipta berpasang-pasangan.
Pasangan adalah gambaran kesetimbangan/keseimbangan. Pasangan juga adalah simbol eksistensi/keberlangsungan hidup.Tak akan ada keteraturan/keseimbangan bila segala sesuatu tak tercipta berpasangan. Kelestarian manusia akan tetap terjaga bila manusia tercipta dari pasangan lelaki dan perempuan. Lampu bahlon tak akan menyala bila tak ada aliran energi positif dan negatif dan masih banyak contoh keseimbangan kosmis lainnya.
Kita menyebut keseimbangan/ keselarasan dengan keadilan. Itulah mengapa Tuhan dikatakan Maha Seimbang (al-Adil) tak memihak karena Tuhan tak punya kepentingan-apa-apa dari makhluknya. Tuhan juga disebut Maha Bijaksana (al-Hakim) selalu memberi jalan keluar untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan/dosa hamba-Nya.
Adil adalah gambaran ketegasan hukum, sedangkan bijaksana adalah gambaran pengampunan/pemaafan/kasih sayang. Keadilan dan kebijaksanaan ini, dalam khasanah tradisi dan budaya, Orang Lamaholot menyebutnya dengan Keniki-Pelatin dan geleten-gelaran.
Ungkapan Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran adalah gambaran keseimbangan kosmis kehidupan. Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran juga adalah perwakilan dari sifat kosmis keilahian/ketuhanan dan sifat kosmis alam/makhluk. Secara bahasa, keniki-pelatin artinya panas atau pedis sebagai simbol ketegasan/keadilan. Sedangkan Geleten-Geelaran artinya dingin atau sejuk sebagai simbol pengampunan/pemaafan/kasih sayang.
Bila ditelusuri lebih mendalam, ungkapan keniki-pelatin dan geleten-gelaran berakar dari keyakinan Orang Lamaholot akan Koda-Kiri. Koda sebagai sabda (kebenaran), kiri sebagai firman (kesucian).  Koda-Kiri adalah Kalam/Kata-kata/Sabda/Firman dari Lera-wulan Tanah-Ekan (Tuhan/Allah SWT). Koda-kiri diyakini sebagai asal muasal dari asbab penciptaan alam semesta (langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia). Yang dalam istilah agama islam dikenal dengan, Kun, Fayakuun (Jadilah! Maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya)
Koda-kiri adalah keseimbangan yang pantang/tabu untuk dilanggar apalagi diabaikan. Bila dijalani dengan benar menurut tujuan penciptaan, maka akan tercipta keseimbangan/keselarasan (kedamaian) kosmis. Namun bila dilanggar atau diabaikan, maka yang terjadi adalah ketidaseimbangan/kekacauan (bencana) kosmis.
Dari keyakinan akan koda-kiri ini kemudian melahirkan filosofi (kearifan) Koda keniki-pelatin sili-lia mean, Kiri geleten-gelaran keru-baki buran. Bahwa kebenaran koda-kiri (kata/kalam/firman) adalah sesuatu yang sakral. Pelanggaran terhadap kebenaran koda-kiri akan menyebabkan nalan (dosa), nedin (bencana), elan/elen (kesalahan), milan (tercemar/kekotoran), dan haban (tersesat). Oleh karena itu, nalan/nedin/elen/milan/haban hanya bisa terampuni/termaafkan/tersucikan apabila manusia mau menyadari kesalahannya dan melakukan pertaubantan/penyucian/permaafan yang dalam istilah adat Orang Lamaholot disebut huku/hoko mehi (pemulihan darah) untuk kembali berdamai dengan Lera wulan-Tanah Ekan (Tuhan Sang Pencipta)
Filosofi Koda keniki-pelatin sili lia mean dan Kiri geleten-gelaran keru baki buran ini kemudian menjadi pedoman/pegangan dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari Orang Lamaholot, termasuk di Labala yang diwujudkan dengan ritual adat Pao Oma dan Tula Ree  yang disimbolkan dengan ular naga langit dan ular naga bumi. Ular naga langit sebagai perwakilan kosmos keilahian/alam malakut/alam gaib, sedangkan ular naga bumi sebagai perwakilan kosmos alam semesta/alam makhluk/alam nyata. Lebih dari pada itu, ritual pao oma  dan tula ree merupakan ikhtiar manusia untuk berdamai dengan alam agar tercipta keseimbangan.
Manusia, dengan potensi lahir dan batin, akal dan nurani yang dikaruniakan Tuhan, dipilih oleh-Nya untuk mengemban amanat suci sebagai Khalifah (wakil Tuhan di bumi) untuk menjadi pemimpin, menjadi pengayom dan penjaga keseimbangan kosmos, menjadi penghubung langit dan bumi, yang diaplikasikan dengan menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik dengan sesama dan alam semesta. Dengan demikian, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin yaitu kehidupan seimbang yang menjadi penyebab rahmamat/kasih sayang Tuhan selalu menyertai.
Keyakinan akan keseimbangan kosmos yang disimbolkan dengan ular naga sebagai air kehidupan dan sebagai keseimbangan kosmis antara kosmis keilahian (ketuhanan/gaib) dengan kosmis kemakhlukkan sebagai ciptaan, senantiasa menjadi kearifan dan nilai luhur yang unik bagi orang lamaholot, terkhusus Orang Labala yang tetap mempertahankan tradisi mistis religius ini. Mengabaikan kearifan leluhur tanpa didahului dengan perenungan dan kajian mendalam akan makna dibalik ritual-ritual mistis ini, adalah sebentuk kesombongan iman bagi mereka yang mengaku beragama dan kecongkakan intektual bagi mereka yang mengaku sebagai cendekiawan.
Akhirnya, tak semua adat leluhur dan tradisi nenek-moyang dengan aneka ritual mistisnya harus dicap sebagai musyrik oleh mereka yang mengaku beragama, atau dianggap mitos oleh mereka yang mengaku akademisi. Toh segala sesuatu yang dianggap musyrik dan mitos tak serta merta dicap sebagai kuno, kafir dsb sebelum bisa dibuktikan dengan hujja (dalil) yang sahih. Menyalahkan tanpa pernah membuktikan kesalahan itu sendiri adalah sebentuk kemunafikan orang-orang yang mengaku beragama dan kebodohan intelektual bagi mereka yang mengaku cerdik cendekia. (**)
~AtaLabala~

Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...
Tulisan ini pernah dimuat di http://www.kompasiana.com/muhammadbaran/ular-naga-perspektif-al-quran-tradisi-mistis-orang-labala_56eec7f3c2afbd6113a6941a